Gambar Wikipedia |
KH. Raden As’ad Syamsul Arifin lahir pada tahun 1897 M/1315
H. di Syib Ali Makkah Mukarromah.
Ayahnya bernama Raden Ibrahim (KH. Syamsul Arifin) dan ibunya bernama Siti
Maemunah. Ketika beliau baru dilahirkan, ayahnya langhsung memeluk dan
membawanya menuju ka’bah. Raden Ibrahim kemudian membisikkan adzan di telinga
As’ad kecil itu tepat di depan ka’bah.
Ketika berumur 13 tahun As’ad kecil menimba ilmu agama pada
pesantren di Banyuanyar, Pamekasan dibawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH.
Abdul Hamid. Setelah itu saat berusia 16 tahun ayahnya mengirim As’ad untuk
menimba ilmu lebih serius lagi di makkah yang menjadi tanah kelahirannya.
Dimakkah ia berguru kepada ulama-ulama terkenal seperti
Sayyid Abbas Al-Maliki, Syeh Hasan Al-Yamani, Syekh Hasan MAsyath, Syeh Bakir
dan Syekh Syarif Asy-Syinqithi. Dimakkah ia tidak sendirian, ada teman-teman
asal Indonesia lainnya yaitu KH. Zaini Mun’im, KH. Ahmad Thoha, KH. Baidhawi
Banyuanyar Pamekasan dan beberapa santri lainnya.
Setelah kurang lebih 11 tahun menimba ilmu agama di tanah
kelahirannya, tepatnya pada tahun 1924, As’ad Muda pulang ke kampung halamannya
di Indonesia. Namun dirinya merasa belum merasa cukup keilmuannya sehingga ia
memutuskan untuk melakukan perjalanan ilmiyah (Rihlah Ilmiyah) sesuai dengan
adat santri nusantara pada waktu itu yaitu belajar dari pesantren satu ke pesantren
lainnya di Jawa dan Madura.
KH. As’ad tabarukan (ngalap Berkah) di berbagai pesantren
antara lain, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Siwalan Panji Buduran
Sidoarjo, Pesantren An-Nuqoyah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan
Bangkalan dan Pesantren Tebu Ireng Jombang.
BACA JUGA : Orator Ulung Indonesia
BACA JUGA : Orator Ulung Indonesia
Pengalaman menimba ilmu di makkah dan berbagai pesantren di
Tanah Air membuat karakter pribadi kiai As’ad sangat dalam. Namun pesantren
Tebu Ireng Jombang lah yang paling membentuk pribadi kiai As’ad. Dibawah asuhan
langsung Khadrotussyaikh Hasyim Asy’ari, kiai As’ad menemukan karakter, wawasan
hingga semangat perjuangan untuk kemerdekaan.
Mediator bagi berdirinya Nahdlatul Oelama
Sebelum mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari terlebih dahulu
menemui orang-orang alim yang tersebar di berbagai wilayah di Jawa, Madura
hingga di Makkah. Diantara para alim itu adalah Syaikhona Kholil Bangkalan
Madura yang dimintai pendapat oleh KH. Hasyim As’ari untuk mendirikan wadah
bagi Ulama Nusantara.
Pada masa itu ahirnya Syaikhona Kholil mengutus KH. AS’ad
Syamsul Arifin untuk menemui KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Pesan Syaikhona Kholil kepada KH. Hasyim Asy’ari
berupa simbol sebuah tasbih dan penyampaian surat Thoha ayat 17-23 yang
bercerita tentang mukjizat nabi musa dan tongkatnya.
Tak lama setelah pesan pertama di sampaikan, Syaikhona
Kholil kembali mengutus KH. AS’ad
Syamsul Arifin untuk menyampaiakan pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari berupa
wiridan “ Ya Jabbar Ya Qohhar”.
Pesan simbolik itu di tangkap oleh KH. Hasyim Asy’ari
sebagai isyarah bahwa Syaikhona Kholil merestui pendirian Nahdlatul Oelama dan
KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi pemimpin spiritual Ulama Nusantara.
Peran KH. R. As’ad Syamsul Arifin dalam pergerakan kemerdekaan.
“Perang harus diniati untuk menegakkan agama dan merebut Negara, jangan hanya niat untuk merebut Negara saja. Kalau hanya merebut Negara, hanya mengejar dunia, ahiratnya hilang. Niatlah menegakkan Agama dan membela Negara, sehingga kalau mati akan mati syahid dan masuk surga !”.
KH. R. As’ad Syamsul Arifin bersama sepupunya KH. Abdus
Shomad (pemimpin Sienin dan Keibodan) pada zaman jepang pernah mendapatkan
kursus militer di Jember. Tehnik dasar militer inilah yang menjadi pondasi
strategi KH. R. As’ad Syamsul Arifin bersama kyai-kyai lainnya dalam menyusun
pergerakan perjuangan yang dipadukan dengan kekuatan rakyat dan para santri.
Sosok KH. R. As’ad Syamsul Arifin sangat disegani oleh
ketiga laskar dikawasan tapal kuda (Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso,
Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan) yaitu anggota laskar Sabilillah,
Hizbullah, dan Pelopor.
Berkat kharisma beliau, semua kyai yang ada dalam laskar
Sabilillah menuruti semua arahan strategi beliau. Begitu juga para santri yang
tergabung dalam laskar Hizbullah, dan yang lebih dahsyat lagi para preman dan
jawara pun bisa beliau taklukkan dengan mengumpulkan mereka semua dalam barisan
laskar Pelopor. Semuanya setia pada segala intruksi yang diberikan KH. R. As’ad
Syamsul Arifin.
Salah satu motivasi KH. R. As’ad
Syamsul Arifin dalam perjuangan adalah bagaimana niat menjadi hal yang paling
utama. “Perang harus diniati untuk menegakkan agama dan merebut Negara, jangan
hanya niat untuk merebut Negara saja. Kalau hanya merebut Negara, hanya
mengejar dunia, ahiratnya hilang. Niatlah menegakkan Agama dan membela Negara,
sehingga kalau mati akan mati syahid dan masuk surga !”.
Beliau tutup usia pada umur 93 tahun, tepatnya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo Jawa Timur.
Baru-baru ini pemerintah Indonesia melalui keputusan Presiden, KH. R. As'ad Syamsul Arifin ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sumber: NU Onlen
0 komentar:
Posting Komentar